"Advokat Asing Masuk Pangsa Pasar Jasa Hukum Indonesia" # Bergairahnya pangsa pasar jasa hukum dari
seorang advokat di Indonesia, telah menjadikan profesi advokat sebagai salah satu bisnis
yang menggiurkan dan sangat menguntungkan untuk dilakoni. Dengan kata lain, pemberian layanan jasa
hukum yang dilakukan oleh advokat sudah menjadi industri jasa yang mengarah
pada liberalisasi, sehingga menarik para advokat asing untuk turut serta dan andil dalam
kancah jasa hukum di Indonesia.
Memang sejak diberlakukannya ASEAN-China Free
Trade Agreement (ACFTA) dan Framework Agreement on Comprehensif Economic
Co-Operation Between ASEAN and the People’s of China disingkat Framework
Agremeent, sektor dunia jasa advokat sedikit banyaknya terkena dampak langsung.
Sektor dunia jasa advokat, memang memiliki karakteristik yang mana layanan yang diberikan lebih spesifik di bidang hukum, yaitu: seperti konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lainnya untuk mempertahankan kepentingan hukum klien. Oleh karenanya, bagi orang-orang yang ingin menggeluti dunia jasa advokat haruslah berlatar belakang pendidikan tinggi hukum (sarjana hukum = SH) dan mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang diselenggarakan oleh organisasi advokat Indonesia.
Selain modal adanya pemahaman teori ilmu hukum, para advokat juga harus mampu mencari sendiri kliennya. Karena dari adanya klien inilah, seorang advokat dapat ”bertahan” hidup dan / atau mengembangkan ilmu hukum, serta kantor hukumnya. Tidak hanya kemampuan untuk mencari klien saja, namun juga seorang advokat harus bersaing dengan advokat-advokat lainnya yang ada di Indonesia, dimana persaingan advokat sudah sangat ketat.
Data jumlah advokat yang tercatat, yaitu
berjumlah sekitar 22.000 advokat, baru 10.000 advokat yang aktif berpraktek
sehari-hari, meskipun bila dilihat dari jumlah penduduk Indonesia yang telah
mencapai 300 juta, jumlah advokat yang tercatat di organisasi advokat tersebut
masih tergolong sangat kecil.
Meski begitu, dengan jumlah advokat aktif yang
mencapai 10 ribuan orang, jumlah perkara yang muncul juga belum begitu banyak. Kondisi
tidak banyaknya perkara ini, membawa ekses banyak kantor advokat yang tutup
karena tidak mendapatkan klien sama sekali, yang kemudian “banting stir” dan beralih
ke profesi lain.
Kondisi dilematis dunia advokat seperti yang kami singgung diatas, semakin para dimana tantangan dunia profesi advokat semakin berat dengan dibukanya “kran” pasar bebas dan penerapan ACFTA serta Framework Agreement, khususnya untuk persaingan dari para advokat asing. Masuknya para advokat asing ini, tidak bisa dibendung lagi, dimana sebelum-sebelumnya para advokat asing sudah berperan aktif sebagai “advokat terbang” di Indonesia. Dimana, advokat asing ini datang ke Indonesia, lalu memberikan pelayanan hukum, konsultasi hukum kepada kliennya yang berada di Indonesia. Padahal advokat asing (lawyer) ini tidak tergabung dalam kantor advokat / pengacara / konsultan hukum yang beroperasi di Indonesia. Sepak terjang para advokat asing (lawyer) ini tidak saja memberikan advis hukum atas hukum negaranya, melainkan juga telah berpraktek memberikan jasa konsultasi hukum mengenai hukum yang berlaku di Indonesia.
Bila dicermati ketentuan Pasal 23 UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang pada pokok dan intinya menyatakan bahwa: “advokat asing dilarang beracara di sidang pengadilan dan membuka kantor jasa hukum atau perwakilannya di Indonesia”. Jadi, bila ada advokat asing yang nyata-nyata beracara sendiri di pengadilan Indonesia, maka hal itu jelas-jelas telah melanggar UU Advokat.
Namun, advokat asing (lawyer) bisa berpraktek dipengadilan, bila didampingi langsung oleh jasa hukum advokat Indonesia. Meskipun masih diberikan peluang untuk berpraktek, bukan berarti advokat asing tersebut bisa mempunyai atau mendirikan kantor lawyer sendiri. Dengan kata lain, advokat asing harus bekerja di salah satu kantor hukum lawyer / advokat yang ada di Indonesia. Istilahnya advokat asing ini, bekerja sebagai konsultan (advisor) hukum dalam bidang hukum yang berkaitan dengan hukum negara asing, seperti kontrak internasional, pidana internasional, hukum internasional dan lain sebagainya.
Meskipun kran advokat asing yang bekerja sebagai
konsultan hukum ini, dipekerjakan menjadi tenaga ahli, maka ada syarat yang
harus dipenuhi oleh advokat asing tersebut, yaitu harus mendapatkan rekomendasi
dari organisasi advokat Indonesia (PERADI), namun tidak wajib menjadi anggota
organisasi advokat tersebut. Meskipun begitu, advokat asing tetap harus tunduk
pada ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, dan harus mematuhi pedoman dari
Internasional Bar Associaton (IBA) untuk konsultan hukum asing tanggal 4 April
1996, dimana pedoman khusus dibuat untuk menghadapi WTO dan GATTS.
Adapun isi dari pedoman dari Internasional Bar Associaton (IBA) tersebut adalah sebagai berikut:
1. memuat prinsip-prinsip dasar;
2. definisi;
3. izin;
4. ruang lingkup praktek;
5. hak dan kewajiban;
6. aturan tentang disiplin;
7. masa berlakunya izin;
8. dan lain-lain.
Selanjutnya, dalam pedoman tersebut menyebutkan:
“bahwa konsultan hukum asing dapat memperoleh izin sebagai individu, anggota,
seorang anggota atau asosiasi di suatu firma hukum di negara setempat atau
sebagai karyawan di biro hukum suatu perusahan berdasarkan aturan tentang jasa
hukum di negara tersebut”. Dengan kata lain, pedoman ini menunjukkan bahwasanya
advokat asing (lawyer) tetap harus tunduk pada hukum yang berlaku di suatu
negara tempat dianya bekerja.
Tidak hanya itu saja,
para advokat asing ini juga harus mendapat kontrol dari Departemen Tenaga Kerja
(Depnaker / Disnaker), kehadiran para advokat
asing ini masuk ke Indonesia adalah setelah memenuhi ketentuan atau prosedur
yang resmi, sehingga patut mendapat pengawasan atau diawasi untuk menghindari
penyalahgunaan izin yang diberikan, misalnya visa yang diberikan adalah visa
berkunjung, namun dipergunakan untuk bekerja di kantor advokat / pengacara atau
law firm di Indonesia.
Nah, dari telah masuknya para advokat asing
yang bekerja sebagai tenaga ahli (konsultan) hukum di Indonesia, maka mau tidak
mau, advokat-advokat di Indonesia harus mempersiapkan diri dan berupaya untuk meningkatkan
kualitas dan kapasitasnya terhadap berbagai kajian hukum multilateral (hukum
internasional), seperti perdata internasional, pidana internasional, arbitrase
internasional, dan lain sebagainya. Termasuk meningkatkan kemampuan untuk bisa
berbagai bahasa. Apalagi, tren yang berkembang bila terjadi wanprestasi kontrak
antara perusahaan multilateral, lebih memilih menggunakan penyelesaian hukum melalui
badan arbitrase internasional yang berada di luar negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar