Sabtu, 07 November 2015

Awalnya Kasus Perdata, Kok Bisa Berubah Menjadi Perkara Pidana

"Awalnya Kasus Perdata, Kok Bisa Berubah Menjadi Perkara Pidana" - Dalam hubungan hukum privat (perdata) yang dilakukan oleh masyarakat dalam kegiatan rutinitas bisnis setiap harinya, bisa saja bersinggungan dengan perjanjian hutang piutang. Dalam hukum keperdataan hubungan yang seperti ini, dikenal sebagai hukum perikatan yang mengatur adanya hubungan hukum antara debitur dengan kreditur untuk melakukan.

Namun, oleh sesuatu dan lain hal, bisa saja terjadi perbuatan ingkar janji (wanprestasi) , yaitu tidak dilakukannya prestasi untuk mengembalikan uang sebagaimana batas waktu yang sudah ditetapkan (disepakati) sebelumnya.


Nah, pada dasarkan peristiwa ingkar janji (wanprestasi) pembayaran hutang ini adalah murni diatur oleh hukum perdata, dimana wanprestasi itu sendiri bisa terjadi akibat:
  1. Melakukan perbuatan yang seharusnya tidak bisa dilakukan sebagaimana yang telah diatur dan disepakati dalam perjanjian;
  2. Salah satu pihak yang terdapat dalam perjanjian, terlambat memenuhi kewajiban sebagaimana telah diperjanjikan;
  3. Melakukan kewajiban (misalnya: pengiriman barang ataupun pembayaran) namun masih kurang atau baru sebagian dari jumlah yang telah diperjanjikan;
  4. Salah satu pihak tidak memenuhi prestasi / kewajiban sama sekali.
Biasanya, dalam praktek hukum perjanjian yang berkembang ditengah-tengah masyarakat, peristiwa hukum berupa ingkar janji (wanprestasi) yang menurut kami salah satu pihak yang terdapat dalam perjanjian tersebut telah melakukan perbuatan menghindar, dan bahkan telah melakukan perbuatan menentang (melawan / melanggar) hukum yang berlaku di Indonesia, seakan-akan yang bersangkutan kebal hukum, meskipun telah nyata-nyata merugikan orang lain.

Bila hal seperti ini yang terjadi, maka perbuatan yang telah merugikan orang lain ini telah dapat dilaporkan sebagai “perbuatan tidak menyenangkan”, sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu melanggar Pasal 335 ayat (1) KUHP yang memberikan ancaman hukuman bagi para pelakunya dengan pidana penjara paling lama (1) satu tahun atau denda paling banyak 4000 (empat ribu lima ratus rupiah). Berikut akan kami sebutkan isi Pasal 335 ayat (1) KUHP :

1. barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain;

Mengenai apakah terbukti atau tidaknya, ada tergantung terhadap hasil penyelidikan, penyidikan dan hasil pemeriksaan oleh Pengadilan Negeri (PN).

Nah, selanjutnya bila kita telaah dari sebelum dilakukannya perikatan (perjanjian), tentu ada janji-janji yang disampaikan sebelumnya sehingga salah satu pihak mau melakukan perikatan. Menurut hemat kami, adanya pengingkaran terhadap janji-janji yang sudah disepakati sebelumnya sehingga mau mengikatkan diri untuk melakukan perikatan sudah dapat dikategorikan sebagai melakukan perbuatan penipuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 378 KUHP Bab XXV tentang perbuatan curang (bedrog). Jadi janji-janji yang disampaikan ini adalah bahagian dari tipu muslihat yang diucapkan sehingga salah satu pihak mau melakukan perikatan.

Adapun bunyi isi Pasal 378 KUHP tersebut adalah sebagai berikut:
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.

Kemudian, isi Pasal 378 bila diurai lebih detail lagi, maka akan memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
  1. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;
  2. Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang;
  3. Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan);
Unsur poin 3 di atas, yaitu mengenai daya upaya atau cara yang dipergunakan adalah unsur paling utama untuk dapat menentukan apakah perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai penipuan atau tidak. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1601.K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990 yang memberkan pertimbangan hukumnya sebagai berikut:

Unsur pokok delict penipuan (ex Pasal 378 KUHP) adalah terletak pada cara/upaya yang telah digunakan oleh si pelaku delict untuk menggerakan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang.

Dalam kasus yang terkait dengan adanya perjanjian sebagaimana yang kami singgung diatas, maka harus diketahui apa yang menjadi niat atau modus untuk melakukan kejahatan dengan menggunakan suatu nama palsu, tipu daya atau rangkaian kebohongan, sudah ada sejak awal, sebelum dibuatnya perjanjian (atau diserahkannya uang / sesuatu barang tersebut), baru bisa dinyatakan telah melakukan tindak pidana penipuan.
Dalam praktek dunia advokat yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, ada beberapa contoh kasus awalnya adalah perbuatan hukum perdata, namun juga mengandung usnur perkara tindak pidana. Kami tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa kasus perkara perdata dapat berubah menjadi kasus pidana.

Contoh kasus tersebut adalah sebagai berikut:


1. Kasus perkara pinjaman modal usaha yang digunakan untuk membeli mobil.

Dalam contoh kasus ini, telah terjadi penyalahgunaan uang yang dipinjam, namun peruntukannya adalah untuk membeli barang yang lain (bukan untuk membeli mobil). Bila hal ini terjadi, maka perbuatan ini dapat dituntut dengan dugaan perbuatan tindak pidana penggelapan. Kasus lain, misalnya: terjadi kesepakatan awal pinjam meminjam uang untuk modal usaha, namun uang pinjaman tersebut dipergunakan untuk membeli sepeda motor pribadi yang baru. Perbuatan ini juga dapat dinyatakan sebagai dugaan perbuatan tindak pidana penggelapan (Pasal 372 KUHP);

2. Pengurusan izin tidak dilakukan, namun uang tidak dikembalikan.
Banyak kasus yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, dimana suatu kewajiban yang diperjanjikan untuk dilakukan tidak berhasil dilaksanakan / dipenuhi, tapi uang pembayaran yang telah diterima untuk melakukan prestasi tersebut tidak dikembalikan kepada si empunya. Bila hal ini terjadi, perkara tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai dugaan perbuatan tindak pidana penipuan dan / atau penggelapan. Sebagai contoh, apabila ada pihak yang berjanji mampu mengurus izin usaha kantor hukum advokat, namun hingga batas waktu yang telah ditetapkan, ternyata izin usaha yang diperjanjikan tersebut tidak kunjung terbit, dan ternyata pula uang yang diserahkan untuk keperluan pembayaran pengurusan izin usaha kantor hukum advokat tersebut tidak juga dikembalikan kepada si pemilik uang, maka hal tersebut dapat dikategorikan dan diajukan sebagai perbuatan yang diduga melakukan perbuatan tindak pidana penipuan dan / atau penggelapan.

3. Cek kosong, yang sejak awal tidak ada dananya.
Dalam transaksi bisnis, sering dilakukan pembayaran dengan mempergunakan cek, khususnya cek yang diterbitkan dengan tanggal mundur (tanggal tertentu yang telah disepakati para pihak). Sementara, yang menerbitkan cek tersebut telah menjanjikan bahwa pada tanggal yang telah diperjanjikan akan ada dananya, pada hal si penerbit cek telah mengetahui atau menyadari bahwa dana untuk menutupi pembayaran cek tersebut tidak akan pernah ada. Pada contoh kasus yang demikian, maka perbuatan si penerbit cek (yang mengeluarkan cek) sudah dapat dikategorikan dan menenuhi unsur-unsur yang diduga melakukan perbuatan tindak pidana penipuan dengan melakukan perbuatan dengan cara tipu muslihat.

Kasus cek kosong ini, tidak akan menjadi kasus perkara tindak pidana, bila yang menerima cek mengetahui bahwa dana untuk itu benar-benar ada pada bank pada saat diterbitkannya cek mundur tersebut. Maka hal ini, adalah merupakan perbuatan wanprestasi. Namun bila dari awal memang diketahui tidak ada dananya, maka hal tersebut adalah merupakan perbuatan tindak pidana, karena telah memiliki niat untuk berbuat jahat dari si pelaku.

Jadi, pada prinsipnya tidak ada kasus perdata yang berubah menjadi kasus pidana, namun yang sebenarnya adalah dalam kasus perdata tersebut memiliki sebahagian dasar perbuatan yang memenuhi unsur-unsur perbuatan tindak pidana.

Semoga tulisan ini bermanfaat. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar